MANOKWARI – Puluhan aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Anti Rasis dan Diskriminasi, Rabu (17/6/2020) sekira pukul 12.00 WIT, mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manokwari.
Kedatangan para aktivis itu untuk mendorong pihak Legislatif bersama pemerintah daerah, membebaskan 7 orang tahanan politik (tapol) yang kini sedang menjalani hukuman penjara di Kalimantan. Negara dalam hal ini, sedang menutup mata terhadap kesenjangan hukum yang terjadi. Pasalnya, ketujuh Tapol tersebut merupakan korban akibat rasisme yang terjadi di Surabaya.
Kondisi ini sudah terjadi sejak lama hingga saat ini proses hukum terhadap ketujuh tapol masih menjadi keganjalan bagi orang asli Papua.
“Sebenarnya itu sudah dari dulu sampai hari ini masih ada terus. Berkaitan dengan itu, 7 tahanan politik yang ada di Kalimantan, ini menjadi salah satu tuntutan kami untuk dibebaskan. Kenapa demikian? Karena ada kesenjangan hukum. Seharusnya saudara-saudara kita yang ditahan itu adalah bagian dari korban, dan bukan sebagai pelaku,” kata Koordinator Aksi, Galang, dalam orasinya.
Senada dengan itu, anggota DPRD Kabupaten Manokwari asal partai Perindo, Aloysius Siep, mengaku kecewa atas keputusan yang diambil terhadap 7 orang tahanan politik tersebut. Siep mengaku di beberapa daerah sejumlah tapol telah dibebaskan karena tindakan yang dilakukan untuk membela hak asasi manusia, khususnya orang asli Papua.
“Dengan keputusan JPU kemarin, saya secara pribadi dan lembaga, sangat menyayangkannya. Karena setiap persoalan itu pasti ada sebab dan akibatnya. Anak-anak di beberapa daerah ini ditangkap karena mengecam aksi rasis yang terjadi di Surabaya itu. Yang lain sudah di bebaskan, kenapa ketujuh tapol ini harus mendapat 17 tahun penjara? Kejati Papua yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini, karena mereka hanya titipan,” tegas Alo.
Alo mengimbau kepada masyarakat nusantara yang mendiami tanah Papua, agar tidak memicu perdebatan dengan menggiring isu hoax di media sosial. Sehingga dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
“Kepada lembaga nusantara juga, datang di tanah Papua harus tahu diri. Tidak boleh keluarkan statement yang nantinya menimbulkan kecemburuan yang mengakibatkan konflik di masyarakat,” imbaunya. (SM3)