Manokwari – Keluarga almarhum (alm) Abraham Nussy dan Pdt. Max Tiwery mempertanyakan tanah di Manggoapi, yang diklaim Pdt. Eben Haezer Sasea. Sebab semua bukti kepemilikan tanah tersebut berupa sertifikat dan pelepasan adat ada pada keluarga almarhum Abraham Nussy dan Pdt Max Tiwery.
Adik almarhum Abraham Nussy, Paulina Nussy Supusepa, menuturkan, tanah tersebut milik mantri Arewan yang dijual kepada orangtua alm Abraham Nussy. Kemudian tanah itu diberikan dan menjadi hak milik alm Abraham Nussy.
“Karena luas, kemudian dibuat dalam lima sertifikat,” ungkapnya.
Setelah Abraham Nussy meninggal, lanjutnya, istri alm Abraham Nussy menjual tanah itu dan dibeli oleh Pdt Max Tiwery. Setelah melunasi pembayaran, Pdt Max hendak membangun di atas tanah tersebut. Namun ketika mereka ke lokasi, mereka diserang oleh Pdt. Eben dan beberapa orang lain.
“Kami menanyakan kenapa dilarang membangun, karena itu bukan tanahnya Pdt. Eben melainkan tanah Pak Bram Nussy (alm Abraham Nussy) yang dijual kepasa Pdt Max. Semua sertifikat dan pelepasan adat juga ada di istri alm Bram Nussy. Karena sudah lunas, semua sertifikat dan pelepasan adat diserahkan kepada Pdt. Max. Lalu kenapa Pdt. Eben bilang dia punya?” tanyanya.
Menurut Paulina, jika Pdt. Eben menyatakan sudah dibeli dari Pak Bram Nussy berarti harus ada kuitansi pembayaran, sertifikat, dan pelepasan adat. Kalau ada bukti kasih tunjuk karena tidak mungkin setelah lunas membayar tidak diserahkan sertifikat dan pelepasan adatnya.
Masalah itu, lanjut Paulina, kemudian dibawa ke pengadilan. Namun sudah dua kali dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard atau NO. NO artinya gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
“Sekarang sudah yang ketiga kali berproses di pengadilan,” ujarnya.
Istri Pendeta Max Tiwery, S.Th, Vera Simatimbang, mengatakan pihaknya awam dan tidak mengerti istilah NO. Namun pihaknya berkeyakinan menang di pengadilan karena semua bukti kepemilikan tanah tersebut ada di pihaknya.
“Kami sudah bayar pajak dan semua buktinya ada. BPHTB juga ada. Pelepasan adat juga lengkap,” tegasnya.
Dari lima sertifikat, kata Vera, empat sertifikat sudah dibalik nama, sementara satu sertifikat lain direlakan Pdt. Max kepada Pdt. Eben dan sudah dibuatkan berita acaranya.
“Karena dia sudah membangun dan ambil sebagian, sehingga ya sudahlah. Empat sertifikat itu kami tetap pertahankan,” sebutnya.
Yang menjadi pertanyaan, kata Vera, tanah itu diklaim Pdt. Eben sebagai miliknya dan saat masalah berproses di pengadilan justru Pdt. Eben gencar membangun. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembangunan di atas lahan sengketa.
“Kalau bilang milik, minimal ada sertifikatnya. Satu atau dua,” katanya.
Untuk membangun pun, lanjut Vera, juga harus ada izin membangun. Untuk mendapatkan izin membangun harus ada sertifikat.
“Sementata dia tidak pegang sertifikat,” katanya
Menurut Vera, pihaknya berencana membangun pendidikan nonformal di atas tanah tersebut. Namun karena diklaim oleh Pdt. Eben, sehingga dibawa ke pengadilan.
Sejak 2021, kata Vera, masalah itu dibawa ke pengadilan, namun sudah dua kali NO.
“Kenapa? Padahal kita sudah tunjukkan semua bukti. Masalah yang dibawa Pdt. Eben ke pengadilan juga bukan masalah tanah yang serobotnya,” paparnya.
Vera menambahkan, jika tanah itu punya Pdt. Eben dan terdaftar di BPN atas namanya, harusnya Pdt. Eben yang bayar pajak.
“Tapi kenapa kami yang ditagih. Itu artinya tanah ini atas nama Pdt. Max Tiwery,” tandasnya.
Sementara itu, Pdt. Eben Haezer Sasea melalui pengacaranya Handri Piter P, SH, mengatakan masalah tersebut sementara berproses di pengadilan. Gugatan sekarang merupakan gugatan ketiga. Dua gugatan sebelumnya diputus NO.
Namun, menurut Handri, memang tanah itu dari dulu dikuasai oleh Pdt. Eben sejak pemegang hak ulayat menyerahkannya kepada Pdt. Eben.
“Ada pelepasan adatnya. Jadi mereka (Pdt. Max Tiwery) memang berdasarkan pada sertifikat mereka. Sertifikat itu yang mereka ambil dari keluarganya Abraham Nussy, yang dulu katanya menguasai tempat di situ,” sebutnya.
Cuma, lanjut Handri, Pdt. Eben mendapatkan tanah itu dari pemilik hak ulayat yang sebenarnya. Dan pemilik hak ulayat itu tidak pernah menjualnya kepada alm Abraham Nussy.
“Tapi ini masing-masing pihak satu sama lain jadi kita menunggu saja proses persidangan sekarang,” tandas Handri. (SM)