Manokwari – Bakal calon Rektor Universitas Papua (UNIPA), Prof. Sepus Fatem, M.Sc terpanggil untuk mendorong dan memperkuat kapasitas UNIPA menjadi perguruan tinggi berdimensi lokal, namun berorientasi global. Untuk itu, UNIPA kan didorong menjadi perguruan tinggi yang kuat, besar, dan maju di tanah Papua dan Indonesia.
Ke depan, di UNIPA harus kerja luar biasa supaya terjadi lompatan manajemen yang bisa terlihat oleh pihak internal dan eksternal.
“Menurut saya ke depan UNIPA kita akan dorong terus perkuat menjadi perguruan tinggi negeri berdimensi lokal tapi berorientasi global melalui kolaborasi,” katanya.
Pola ilmiah pokok UNIPA yakni pertanian dan konservasi sumberdaya alam menjadi penciri dimensi tersebut, tinggal kita reformulasi ulang kebijakan sehingga berorientasi global,” ujar Prof Fatem saat diwawancara awak media, disela-sela Wisuda Periode II, Rabu, (27/3/2024).
Kolaborasi menjadi kata kunci dalam membawa UNIPA ke depan. Apalagi UNIPA diinginkan sebagai PTN BLU sebagai bagian dari transformasi Perguruan tinggi, sehingga kemandirian ekonomi bisa terwujud jika kolaborasi yang kuat yang dlakukan dengan berbagai pihak.
Prof Fatem juga berharap, lima tahun ke depan muncul guru besar di UNIPA baik orang asli Papua maupun suku yang lain.
“Teman-teman, para kolega dosen di UNIPA juga sudah siap berada pada posisi sebagai guru besar. Tapi saya ingin memberikan satu tantangan khusus bagi anak-anak Papua di kampus UNIPA, siapa yang jadi guru besar lagi,” ucapnya.
Tantangan itu dilontarkan, karena menurut Prof Fatem, guru besar atau profesor adalah jabatan karier akademik tertinggi sebagai akademisi. Dan hari ini butuh banyak guru besar untuk membangun tanah Papua dan Indonesia. UNIPA saat ini terdapat 19 guru besar dan ke depan akan ditingkatkan agar capaiannya meningkat.
“Harus ada target, kalau setiap tahun minimal ada dua orang, maka 5 tahun ke depan akan lahir 10 profesor, ” katanya.
Fakultas tertua seperti kehutanan, Pertanian, Peternakan, MIPA maupun lainya sangat berpotensi penyumbang guru besar, apalagi fakultas tersebut hampir telah melampui angka efisiensi edukasi untuk tenaga pengajarnya. Dengan demikian, salah satu yang akan dikembangkan ke depan adalah revitalisasi total SDM dan sistem layanan internal angka kredit (PAK) UNIPA yang kurang baik dan tidak profesional hal ini membuat ciutan dan keluhan Dosen di group dosen dan diskusi internal di UNIPA untuk keadaan ini.
“Harus ada perubahan yang cepat dan mendasar demi hak dan kesejahteraan dosen,” ungkap Profesor orang Asli Papua ketiga di UNIPA ini.
UNIPA tidak mungkin maju, berkembang cepat dan kuat jika hak dan kesejahteraan dosen maupun tenaga kependidikan tidak diurus dengan baik. Yang menggerakan sistem di bawah itu para dosen, tenaga kependidikan, sehingga persoalan kesejahteraan perlu prioritas utama, tidak bisa di tawar menawar.
“Kita harus bisa menunjukkan kepada negara, pemerintah, dan masyarakat bahwa kita sudah siap baik dari sisi kapasitas maupun kapabilitas di perguruan tinggi dan di masyarakat guna membangun Indonesia emas 2045,” tegasnya.
Kata kuncinya, lanjut Prof Fatem, UNIPA harus dibuat menjadi besar, kuat, maju, dan berkembang di tanah Papua, kawasan Pasifik dan kawasan timur Indonesia. Karena itulah dia juga menantang pada dosen terlebih khusus anak-anak OAP di UNIPA untuk menjadi profesor.
“Karena profesor menunjukkan wibawa kita sebagai anak-anak Papua dalam membangun tanah Papua, membangun Indonesia. Pasti teman-teman non Papua juga akan berusaha sebagai guru besar tapi secara internal saya ingin menantang anak-anak Papua bahwa kita memiliki tanggung jawab moril untuk mencapai capaian itu sebagai bukti bahwa kita siap membangun tanah Papua,” sebutnya.
Oleh sebab itu, tambah Prof Fatem, dosen-dosen harus melihat bahwa karier di kampus adalah sebagai guru besar bukan sebagai rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, atau Kaprodi karena itu jabatan dengan status tugas tambahan.
“Jadi karier kita harus menjadi seorang profesor. Pencapaian karier akademik tertinggi seorang dosen adalah profesor. Orientasi kita bukan rektor, wakil rektor, dekan, wakil dekan, atau Kaprodi. Orientasi kita adalah menjadi profesor karena sains dikembangkan di kampus. Kampus itu pusat peradaban, peradaban itu dimulai dari kampus, dari diri kita sebagai ilmuan. Ilmu harus dikembangkan untuk mempengaruhi kebijakan pembangunan, menolong dan membangun masyarakat. Untuk itu, sekali lagi UNIPA ke depan kita dorong supaya menjadi perguruan tinggi berdimensi lokal tapi berorientasi global,” tandasnya.
Prof Fatem juga mengaku mendapat pertanyaan dari sejumlah pihak apakah sudah memperhitungkan kalah menang dan risiko tidak mendapatkan jabatan setelah suksesi rektor. Bagi Prof Fatem, kalah menang hal yang biasa.
“Kalah atau menang lalu tidak dapat jabatan, menurut saya itulah ‘’panggilan, Jadi saya terpanggil melakukan hal-hal besar untuk kampus ini, sehingga saya mencalonkan diri,” ujarnya.
“Saya ini petarung, bukan penikmat. Kalah- menang itu biasa saja. Manusia kita hanya berusaha, kemenangan itu dari Tuhan dan diberikan oleh-Nya sesuai porsinya tiap orang, paparnya. Hari ini Tuhan sudah berikan jabatan guru besar dan itu puncak akhir dari jabatan akademik di kampus, jadi saya tidak punya beban dalam pemilihan rektor besok’’ujarnya disela-sela menutup wawancara awak media. (SM)