Benar-benar Miris, Bansos Beras Diembat Pejabat Kemensos

pejabat Kemensos

JAKARTA, – Miris! Lagi dan lagi kasus korupsi terus menghantui Indonesia dengan munculnya skandal baru yang mengguncang Kementerian Sosial (Kemensos) menyangkut penyaluran bantuan sosial (bansos) yang digulirkan pada 2020-2021.

Tak adil dan beradab, tindakan korupsi yang terungkap kali ini mengejutkan publik, karena bansos berupa beras yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin, malah dibabat habis oleh sejumlah oknum pejabat Kemensos.

Dalam skandal ini, setidaknya enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka, salah satunya adalah Kuncoro Wibowo (KW), mantan Direktur Utama TransJakarta. KW menarik perhatian ketika menjabat sebagai Dirut TransJakarta pada Januari 2023, namun mengundurkan diri secara mendadak pada Maret 2023.

Ali, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjelaskan bahwa proses penyidikan kasus dugaan korupsi bansos beras masih berlangsung. KPK berkomitmen untuk mengungkapkan pihak-pihak yang terlibat serta melengkapkan konstruksi perkara ini dengan bukti-bukti yang cukup.

Skandal ini menyusul serangkaian kasus korupsi lainnya yang terjadi di lingkungan pemerintahan, termasuk Kasus Korupsi Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Pengadaan Al-quran di Kementerian Agama (Kemenag) hingga Pengadaan bansos Covid-19. Kejadian-kejadian ini menimbulkan keprihatinan dan kekecewaan yang mendalam di kalangan masyarakat.

Beban Masyarakat: Menteri dan Wakil Rakyat Korup

Bosan rasanya jika kita harus mendengar lagi dan lagi tentang kasus korupsi yang melibatkan para pejabat elit negara. Ambil kasus kasus suap pengadaan bantuan sosial sembako Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai contoh. Kasus ini terungkap pada Desember 2020, ketika Juliari ditangkap oleh KPK setelah diduga menerima suap Rp 32,4 miliar dari 10 perusahaan penyedia bansos di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Suap tersebut terkait dengan proyek pengadaan bantuan sosial sembako yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 yang malah digunakan untuk pemuasan nafsu berkedok “biaya operasional” membeli ponsel dan sepeda Brompton, pembayaran honor artis, hingga menyewa pesawat pribadi.

Kasus ini menimbulkan kehebohan karena dana bantuan sosial yang seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan malah disalahgunakan. Kerugian negara akibat skandal ini mencapai Rp. 14 miliar.

Selain itu, kasus penyelenggaraan ibadah haji yang menyeret mantan Menteri Agama Suryadharma Ali juga sangat mengecewakan. Suryadharma telah terbukti secara nyata menyalahgunakan dana penyelenggaraan ibadah haji dan dana operasional menteri untuk kepentingan pribadi.

Kronologi singkatnya, Suryadharma dilaporkan menjadi tersangka korupsi terkait dana operasional Menteri pada Juli 2015. Dan pada Januari 2016, bau busuknya makin kontan saat dia dinyatakan bersalah atas kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji dari tahun 2010 hingga 2013, serta penyelewengan dana operasional menteri sebesar Rp 1,8 miliar. Kerugian finansial negara akibat perbuatan korupsi ini mencapai Rp 27 miliar dan 17 juta real Saudi.

Satu lagi yang tak luput dari ingatan, skandal proyek pengadaan Alquran. Proyek ini dimainkan oleh Zulkarnaen Djabar, anggota Banggar DPR RI, bersama dengan Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq dan Dendy Prasetya yang notabene pihak-pihak terkait di lingkungan Kemenag juga menimbulkan rasa sakit hati dan kecewa dalam hati umat Islam di Indonesia. Dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan alquran bagi umat Islam di seluruh negeri, ternyata disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Zulkarnaen Djabar berusaha memuluskan anggaran senilai Rp. 82,23 miliar di DPR bersama Fahd A Rafiq, sementara Dendy bertanggung jawab atas proyek pengadaan kitab suci tersebut. Pada bulan September 2012, KPK menemukan adanya kerugian keuangan negara akibat korupsi pengadaan Alquran ini sebesar Rp 27,056 miliar.

Beberapa contoh kasus korupsi di atas hanya seperti jarum dalam jerami. Nyatanya, korupsi di Indonesia itu kosmopolit, menyebar di berbagai sektor yang menjadi ancaman besar bagi Indonesia. Ironis, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi mengalami peningkatan sepanjang tahun 2022.

Dalam rilis terbaru dari Transparency International Indonesia (TII) mengenai Indeks Persepsi Korupsi, hasil survei menunjukkan penurunan skor Indonesia yang signifikan, yaitu dari 38 menjadi 34.

Baca Juga: Presiden Jokowi Bantah Tuduhan Intervensi Politik di Kasus Korupsi Johnny Plate

ICW mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, sektor perdagangan menjadi penyebab kerugian negara terbesar dengan jumlah mencapai Rp 20,9 triliun. Terdapat 10 kasus korupsi yang terjadi di sektor ini. Sedangkan sektor transportasi menempati posisi kedua dengan kerugian sebesar Rp 8,82 triliun. Jumlah kasus korupsi di sektor ini mencapai 12 kasus pada tahun 2022.

Data ini menggambarkan situasi yang memprihatinkan dan menunjukkan perlunya upaya yang lebih kuat untuk memerangi korupsi di Indonesia.

Jejak Budaya Korupsi di Indonesia: Tumbuh Sejak Zaman Kolonialisasi

Korupsi, sebuah wabah yang sebenarnya telah mengakar dalam budaya Indonesia sejak zaman kolonialisasi. Praktik yang merugikan masyarakat dan menghancurkan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih baik.

Sejarah menunjukkan bahwa praktik korupsi telah melibas negeri ini selama berabad-abad. Bahkan, pada zaman kolonial, kejahatan ini terlihat dengan jelas di tangan para bupati yang memegang kekuasaan lokal. Mereka yang menguasai wilayah dengan tangan besi, memeras dan menghisap keringat rakyat dengan cara yang kejam.

Salah satu bentuk korupsi yang paling merugikan pada saat itu adalah penggelapan upah masyarakat yang dipekerjakan secara paksa. Bupati, sebagai pemimpin lokal, seharusnya melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, mereka justru memanfaatkan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri.

Rakyat yang diperbudak secara paksa untuk bekerja di perkebunan atau proyek kolonial berharap untuk mendapatkan upah yang layak. Namun, kenyataannya, upah yang seharusnya mereka terima direnggut oleh tangan korupsi para bupati. Uang yang seharusnya menjadi sumber penghidupan mereka digunakan untuk memperkaya elite yang korup.

Budaya korupsi ini telah mengakar dalam sistem pemerintahan pada masa itu. Rakyat terjebak dalam lingkaran korupsi yang tidak ada ujungnya. Ketika mereka berusaha mengeluh atau melaporkan praktik korupsi ini, seringkali suara mereka diabaikan atau bahkan mereka dihadapkan pada ancaman dan represi yang kejam.

Masa lalu adalah cermin bagi masa depan. DNA buruk korupsi yang masih diwariskan hingga kini telah memunculkan banyak kasus yang bukan hanya meresahkan masyarakat tapi juga menjadi momok yang merugikan negara Indonesia. Masyarakat menuntut adanya tindakan tegas dan transparansi dalam penanganan kasus-kasus ini. Pemerintah harus bertindak cepat dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi agar masyarakat kembali percaya dan yakin terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Korupsi merupakan penyakit yang menggerogoti kehidupan bangsa. Diperlukan kerja sama antara semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk memberantas korupsi dan memulihkan kepercayaan dalam pemerintahan. Hanya dengan upaya bersama yang konsisten dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat melangkah maju dan menghadirkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Nauzubillah, mari kita bersatu melawan korupsi dan membangun Indonesia yang adil, transparan, dan sejahtera bagi semua rakyat.(*)

Pos terkait