MANOKWARI, – Salah satu kebijakan nasional yang dilakukan perpustakaan Nasional (Perpusnas) dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan dan pengelolaan adalah Akreditasi perpustakaan.
Diharapkan dengan peningkatan mutu perpustakaan tersebut bakal berperan secara maksimal dalam mendukung visi pembangunan perpustakaan yang dalam hal ini menjadi wilayah perpustakaan Nasional.
Akan tetapi kenyataannya, dari sebanyak 419 perpustakaan di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya, baru 9 yang telah dinyatakan lulus akreditasi dari perpusnas.
Hal itu dkemukakan oleh Anggota Tim asesor akreditasi Perpusnas Agus Rivai, P.hD., di kegiatan Workshop Akreditasi Perpustakaan Provinsi Papua Barat di Manokwari.
Agus Rivai mengatakan, yang diambil oleh perpustakaan Nasional adalah transformasi perpustakaan Nasional berbasis inklusi sosial.
“Visinya adalah bagaimana perpustakaan harus bertransformasi. Namanya program transformasi perpustakaan,” jelasnya.
Menurut penilaiannya, orang menganggap perpustakaan hanya sebagai tempat meminjam dan menyimpan buku. Padahal seharusnya perpustakaan itu bisa menjadi bagian dari komponen lainnya untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sehingga menjadi lebih produktif.
“Nah itu yang dimaksud dengan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Sehingga apa yang harus dilakukan tentu agar perpustakaan bisa menjadi bagian yang bisa memberdayakan dan juga menjadikan masyarakat lebih produktif maka penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan itu harus dipastikan kualitasnya mutunya. inilah pentingnya akreditas perpustakaan,” papar Agus.
Jadi, lanjutnya, seluruh komponen di perpustakaan yang mencakup 6 standar, standar koleksi, standar sarana prasarana, standar layanan, standar tenaga, standar penyelenggaraan, kemudian dan standar pengelolaan, semuanya itu harus berfungsi dengan baik di perpustakaan sehingga perpustakaan itu mampu berperan di dalam pemberdayaan masyarakat agar mereka bisa lebih produktif yang pada akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat itu sendiri.
“Semuanya itu harus berfungsi dengan baik sehingga perpustakaan mampu berperan dalam pemberdayaan masyarakat agar mereka lebih produktif yang akhirnya bisa mensejahterakan masyarakat itu sendiri,” katanya lagi.
Ditegaskannya bahwa akreditasi baru tercapai 2,1%, sehingga ini perlu menjadi perhatian bersama, bukan hanya oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah. Bagaimana memastikan perpustakaan-perpustakaan yang ada ini bisa didorong untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraannya, sehingga diharapkan perpustakaan juga ikut berpartisipasi di dalam membangun kesejahteraan masyarakat.
Dia juga menjelaskan, saat ini 419 perpustakaan yang ada tersebar di kabupaten kota itu tercatat dalam data sebelum pemekaran DOB Papua Barat daya.
Menurutnya kendala yang dihadapi adalah perpustakaan dianggap belum menjadi bagian dari prioritas pembangunan terutama di daerah-daerah. Karena mungkin banyak persoalan yang lebih krusial menurut pemerintah daerah. Selain itu, masih kuatnya anggapan bahwa perpustakaan itu hanya menyimpan dan meminjam buku saja.
“Sehingga tidak jarang menemukan perpustakaan baik di lingkungan perguruan tinggi, sekolah. Juga mungkin tidak menarik sehingga program transformasi ini selain untuk keperluan yang saya sebutkan sebelumnya, juga bagaimana perpustakaan bisa berdaya tentu harus menarik,” bebernya.
Makanya perpustakaan harus bertransformasi jangan hanya menampilkan wajah yang konvensional tetapi juga harus modern sehingga perlu penguatan di bidang tekhnologi. Ini bagian juga dari bagaimana perpustakaan itu harus bertransformasi dari aspek implementasi teknologi, karena tidak bisa memungkiri anak sekolah saat ini sudah beralih perilaku informasinya.
“Dulu anak sekolah setiap mata pelajaran ada buku sekarang tidak demikian lebih dominan handphone, kalau ada tugas carinya di handphone saja, semuanya melalui internet,” tegasnya.
Harus diperhatikan juga, lanjutnya, Jangan sampai generasi kita sudah generasi milenial tapi perpustakaannya masa kolonial, hal ini juga akan menjadikan ‘gap’.
“Mengapa perpustakaan menjadi institusi yang tidak menarik lagi, karena bukan saja ada ‘gap’, tapi juga karena perbedaan antara kebutuhan dengan karakter anak-anak kita. Pemanfaatan lembaga perpustakaan itu sendiri,” tandasnya.(SM)