MANOKWARI – Penduduk Provinsi Papua Barat saat ini berjumlah 980 ribu jiwa dengan kebutuhan konsumsi beras setiap bulan sebanyak 6.333 ton per bulan atau 76.000 ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan beras sebanyak itu, sekitar 75 persen didatangkan dari luar Papua Barat.
“Kebutuhan beras ini sebagian dipasok dari produksi lokal di Papua Barat dan sebagian besar hampir 75 persen didatangkan dari luar Papua Barat,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Hortikuktura Provinsi Papua Barat, Jacob Fonataba, di Kampung Prafi Mulya, Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Rabu (17/6/2020).
Fonataba mengemukakan, produksi beras lokal di Papua Barat tersebar di 11 kabupaten, kecuali Kabupaten Pegunungan Arfak dan Kota Sorong. Untuk total luas lahan, kata dia, di Kabupaten Manokwari total luas lahan 1.443 hektar, Teluk Bintuni 116 hektar, Kabupaten Sorong 121 hektar, Raja Ampat dari 150 hektar yang optimal 100 hektat, Teluk Wondama 20 hektar, Tambrauw 2 hektar, Manokwari Selatan 645 hektat, Fakfak 48 hektar, Sorong Selatan 10 hektar, Maybrat 10 hektar, dan Kabupaten Kaimana sebanyak 50 ha.
“Jadi total luas lahan untuk Provinsi Papua Barat yang intensif selalu tertanami setiap tahun hampir 3.000 hektar. Jika rata-rata produksi per hektar 5 ton, maka didapat 15 ribu ton gabah kering panen. Dari jumlah itu susut di penggilingan 62 persen jadi hampir cuma 10 ribu ton per musim tanam,” sebutnya.
Sementara, seluruh luas lahan di Papua Barat yang telah dicetak seluas 11.545 hektat. Akan tetapi, jata Fonataba, lahan yang intensif selalu ditanam sebanyak 7.174 hektar. Jika 11 ribu lebih lahan itu ditanami dengan rata-rata produksi 5 ton per hektar, lanjut Fonataba, berarti produksi di Papua Barat dalam satu musim tanam sebanyak 57.725 ton gabah kering panen.
“Jika dikonversi jadi beras ada 35.789,5 ton untuk satu musim tanam, sehinggga jika dua musim tanam, maka dikali dua sekitar 70 ribu ton. Ini berarti kebutuhan untuk Provinsi Papua Barat bisa terjawab dari produksi lokal,” katanya.
Menurutnya, ada sejumlah kendala yang dihadapi beberapa daerah, sehingga ada beberapa lahan yang belum dapat ditanami secara intensif. Kendala itu antara lain modal usaha para petani yang belum memadai, belum adanya benih unggul bersertifikat.
“Kita usahakan menggunakan benih unggul karena sekarang kita sudah beranjak ke sistem mekanisasi,” sebutnya.
Kendala lainnya yakni alat mekanisasi yang masih terbatas, kemampuan petani untuk menebus pupuk dan sering ada keterlambatan pupuk.
Kendala berikut, tambah Fonataba, yakni harga jual beras yang masih belum memadai menurut perhitungan analisa usaha tani bagi petani serta kebutuhan air irigasi.
“Ada lahan yang sudah dicetak tapi belum terjangkau oleh air irigasi. Jadi para petani mengusulkan kepada kami untuk membuat perencanaan, sehingga lahan-lahan itu dapat dialiri. Kendala yang berikut adalah obat-obatan untuk pengendalian hama dan penyakit. Itu beberapa hal yang dihadapi oleh petani,” tukasnya. (SM7)