Perkembangan Terbaru Isu Transaksi Rp 349 T di Kemenkeu Jadi Makin Ruwet!

Kemenkeu
Press Statement Menteri Keuangan dan Menkopolhukam Terkait Temuan PPATK.

JAKARTA, – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan kabar terbaru tentang isu transaksi mencurigakan hingga Rp 349 triliun yang terkait dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia mengungkapkan ada dua oknum yang terlibat.

Di antara 300 surat berisi laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagian adalah hasil analisis terkait pajak.

Bacaan Lainnya

Menkeu menerangkan, terdapat transaksi mencurigakan senilai Rp 205 triliun, yang melibatkan 17 perusahaan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kemudian merespons dengan melakukan tindak lanjut dan penelitian dalam rentang 2017-2019.

Dua oknum yang dimaksud ini di antaranya berinisial SB, yang memiliki omzet Rp 8,24 triliun. Padahal SPT pajak mencantumkan omzet Rp 9,68 triliun.

“Karena orang ini memiliki saham dan perusahaan di PT BSI kita teliti PT BSI di dalam surat dari PPATK,” jelas Sri Mulyani, dikutip Sabtu (25/3/2023).

Setelah ditindaklanjuti, perusahaan berinisial BSI tersebut terkait dengan transaksi mencurigakan mencapai Rp11,77 triliun. Di sisi lain, SPT pajak perusahaan menunjukkan angka Rp 11,5 triliun sehingga terdapat selisih Rp 212 miliar.

“Itupun tetap kami kejar, kalau memang ada bukti nyata maka si perusahaan itu harus bayar kewajibannya dengan denda 100%,” ucapnya.

Kemudian yang disoroti yakni inisial PT IKS 2018-2019. Angka yang didapatkan dari PPATK menyatakan transaksi Rp 4,8 triliun, sedangkan SPT-nya menunjukkan Rp 3,5 triliun.

Kemudian ada seorang namanya DY, yang SPT-nya hanya Rp 38 miliar, tapi data PPATK menunjukkan transaksi Rp 8 triliun.

“Perbedaan data ini kemudian dipakai oleh DJP memanggil yang bersangkutan,” ujar Sri Mulyani.

Kemenkeu mengendus adanya modus yang digunakan SB dengan menggunakan nomor akun dari lima orang yang merupakan karyawannya.

“Ini termasuk transaksi ini disebut money changer, anda bisa bayangkan money changer, yakni cash in sudah cash out (transaksi) orang,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani memerinci, dari 300 surat dari PPATK, 65 surat mengenai transaksi perekonomian senilai Rp 253 triliun. Baik itu perdagangan, pergantian properti, yang ditengarai mencurigakan dan dikirimkan ke Kementerian Keuangan, untuk bisa ditindaklanjuti.

Kemudian 99 surat lainnya yang dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum, dengan nilai transaksi Rp 74 triliun.

Selanjutnya, ada 135 surat dari PPATK menyangkut pegawai Kemenkeu, yang nilainya jauh lebih kecil dari nilai yang tidak menyangkut pegawai Kemenkeu. Namun, Sri Mulyani tidak memerinci, nilai transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu.

Ada juga, surat yang paling menonjol yang dikirimkan PPATK, yakni surat bernomor 205/TR.01.2020 yang dikirimkan pada 19 Mei 2020. Dalam surat ini menyatakan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 189,273 triliun hanya dari satu surat.

“Dalam surat yang disampaikan oleh PPATK disebutkan terdapat 15 individu dan entitas perusahaan dan nama orang yang tersangkut Rp189,283 triliun dengan transaksi tahun 2017-2019,” jelas Sri Mulyani.

Saat menerima surat ini, eks direktur pelaksana Bank Dunia itu mengaku langsung menindaklanjuti dengan meneliti dan penyelidikan surat tersebut ke DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Berdasarkan hasil penyelidikan DJP dan DJBC, 15 perusahaan tersebut telah melakukan kegiatan ekspor, impor emas batangan dan emas perhiasan, serta kegiatan money changer dan kegiatan lainnya.

Sri Mulyani memerinci, entitas impor emas batangan senilai Rp 326 miliar pada 2017, naik menjadi Rp 5,6 triliun pada 2018, dan pada 2019 turun drastis ke Rp 8 triliun. Sementara untuk ekspornya senilai Rp 4,7 triliun pada 2017, kemudian turun menjadi Rp 3,5 triliun pada 2018, dan turun menjadi Rp 3,6 triliun pada 2019.

“Pada saat yang sama, waktu Bea Cukai tidak ditemukan di Bea Cukai adanya kecurigaan, maka pajak masuk,” jelas Sri Mulyani.

DPR Akan Panggil Mahfud MD dan Sri Mulyani

Komisi III DPR berencana untuk memanggil Menko Polhukam Mahfud MD selaku Ketua Komite Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku anggota Komite Nasional TPPU untuk dimintai keterangan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan, Sri Mulyani akan dipanggil dalam kapasitasnya sebagai Anggota Komite Nasional TPPU yang dipimpin Mahfud. Bendahara negara ini akan dimintai keterangan bersama Mahfud dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana selaku sekretaris komite.

Baca Juga: Istrinya Sering Pamer Gaya Hidup Mewah, Dari Data KPK Terungkap Kabareskrim Tidak Lapor LHKPN 6 Tahun Terakhir

“Karena kalau anggota Komite Nasional TPPU maka kita mengundang atas dasar Komite Nasional TPPU,” kata Sahroni saat akan menutup rapat terkait transaksi mencurigakan itu dengan Kepala PPATK di ruang rapat Komisi III, Jakarta, Selasa (21/3/2023).

Pemanggilan kepada Sri Mulyani dan Mahfud MD direncanakan akan dilakukan pada 29 Maret 2023.

Pemanggilan terhadap Sri Mulyani ini merupakan tindak lanjut dari rapat kerja dengan PPATK dua hari lalu. Namun, para anggota dewan di komisi itu merasa rapat tidak akan membuahkan hasil yang konkrit jika ketiga orang di Komite TPPU itu tidak dihadirkan secara sekaligus.

Sebab, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan bahwa data Rp 349 triliun itu merupakan atas permintaan Mahfud MD dan terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang sedang diselidiki oleh penyidik di Kemenkeu, baik di DJP maupun DJBC.

Ivan menceritakan, mulanya data itu diminta Mahfud karena ada kasus yang menimpa Rafael Alun Trisambodo (RAT) pejabat eselon III di Ditjen Pajak yang telah dicopot oleh Sri Mulyani. Lalu muncul kasus pamer harta kekayaan para pejabat di Kemenkeu yang laporan LHKPN nya tidak jelas.

“Beliau minta klarifikasi apakah kita sudah pernah mengirimkan hasil analisis apa belum? Karena ada isu mengenai LHKPN yang tinggi yang besar itu. Lalu saya sampaikan sudah pernah ada,” ucap Ivan.

“Lalu bergulir lagi ke isu lainnya yang isu flexing-flexing lainnya. Lalu saya sampaikan sudah pernah ada lagi. Kita tidak pernah menyampaikan dokumen hasil analisisnya. Lalu beliau mintalistsecara agregat secara umum,” kata Ivan lagi. (*)

Pos terkait