KOKAS, FAKFAK – Kawasan Konservasi Taman Pesisir (KKTP) Teluk Berau yang berada didalam wilayah Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, menyiapkan sebuah jalur wisata yang sangat unik dan memiliki keindahan eksotis, yakni Jalur Wisata KKTP Teluk Berau. Mengunjungi Fakfak serasa kurang lengkap jika tidak melintasi Jalur Wisata ini.
Jalur ini menawarkan rimbun labirin mangrove dengan permukaan airnya yang tenang, rute bersejarah dengan kisah-kisah para leluhur masyarakat Fakfak yang bertemu dan memperkuat fondasi ‘Satu Tungku Tiga Batu’, keberadaan masjid tertua di Fakfak yang dibangun pada awal abad 18, dan bermuara pada air terjun yang konon memiliki khasiat magis untuk penyembuhan.
Kampung Kaburbur, salah satu kampung yang ada dalam lintasan Jalur Wisata Kawasan Konservasi Taman Pesisir Teluk Berau, Fakfak.
Menengok sejarah sebelum dipopulerkan sebagai jalur wisata, masyarakat Fakfak pada zaman dulu menggunakan rute ini untuk masuk dalam kawasan Teluk Berau, dengan Kokas sebagai daerahnya. Menurut keterangan yang diberikan masyrakat setempat, jalur ini pada zaman dulu dilintasi kurang lebih selama dua hari dengan perahu yang di dayung dari Kampung Ubadari yang berada di pesisir utara dalam kawasan Teluk Berau. Lamanya perjalanan dan kawasan yang rimbun dengan mangrove, masyarakat Fakfak pada masa itu diperkirakan membangun Kampung-kampung dan Dusun-dusun yang ada hingga saat ini, seperti Kampung Batufiafas, Kiminakra, Mandoni, Patimburak, dan Kaburbur.
Menurut keterangan Kepala Kampung Mandoni, Jaelani Tigtigweria, jalur ini telah lama digunakan dan bukan hanya menjadi penghubung Kampung-kampung atau Dusun-dusun disepanjang jalur bersejarah ini, tapi juga menghubungkan kekerabatan yang kuat masyarakat Fakfak. Terlebih salah satu masjid tertua di Fakfak ada di jalur ini, di Kampung Patimburak, juga keberadaan gua-gua bersejarah tempat masyarakat terdahulu beristirahat dalam melalui jalur ini.
“Kami sambut baik niat pemerintah daerah untuk memperkenalkan jalur ini sebagai jalur wisata. Intinya kami siap mendukung, dimana Kampung-kampung kami siap jika nanti dibangun homestay atau tempat singgah untuk wisatawan yang datang,” ujar Jaelani.
Salah satu situs sejarah yang terkenal didalam jalur wisata ini adalah keberadaan masjid tertua di Kabupaten Fakfak, yaitu Masjid Al-Yassin Kampung Patimburak. Masjid yang dibangun pada tahun 1870 ini memiliki bentuk yang sedikit berbeda dari umumnya masjid di Indonesia, dimana kubah megah akan dipasang dibagian utama masjid, namun hal tersebut tidak terdapat pada masjid ini.
Menurut keterangan juru kunci Masjid Al-Yassin, Mojim Moi Kuda, masjid ini memang dibangun dengan desain khusus yang menyerupai gereja, karena dibangun atas kerjasama masyarakat kampung 3 agama, yaitu; Islam, Kristen dan Katolik. Dalam selang waktu tersebut juga, Raja Wertuar pertama ditunjuk oleh Kesultanan Ternate-Tidore, yaitu Semempe Kuda, yang kuburannya berada tak jauh dari lokasi masjid. Semenjak itu, para masyarakat adat, khususnya di Kampung Patimburak telah mengangkat sumpah untuk menjaga toleransi antar umat beragama.
“Masjid ini juga sempat digunakan oleh Jepang di masa perang dunia kedua sebagai dapur umum. Ada bekas-bekas peluru yang tertanam di tiang-tiang masjid. Disini, toleransi beragama kami telah dijadikan sumpah janji oleh leluhur kami, makanya bentuk masjidnya ini seperti gereja. Masjid ini digunakan setiap hari,”Jelas Mojim Moi Kuda.
Diujung jalur wisata ini, terdapat sungai bernama Sungai Dwinduir, terletak di Kampung Ubadari. Diakibatkan topografinya yang unik, didalam sungai ini terdapat kolam-kolam dengan air terjun mini yang kemudian menciptakan area luas yang indah dan tempat bersantai dan berenang yang menyenangkan. Sehingga di tahun 2019, Dinas Pariwisata Kabupaten Fak-fak membangun pondok-pondok atau gazebo tempat bersantai untuk pengunjung atau wisatawan yang datang sekedar melepas kejenuhan dan menikmati riuhan air terjun mini ini. Walaupun sampai saat ini pengelolaan fasilitasnya belum diberikan sepenuhnya kepada masyarakat Kampung Ubadari, Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Kampung Ubadari, secara mandiri telah menjaga dan memastikan kebersihan objek wisata ini semenjak pertama beraktivitas pada awal tahun 2020.
Ketua POKDARWIS Kampung Ubadari, Husein Iha, lebih lanjut menjelaskan bahwa kurang lebih jumlah wisatawan lokal yang datang ke Air Terjun Sungai Dwinduir saat liburan atau akhir pekan dapat mencapai 300-an hingga 500-an orang dari berbagai kalangan usia. Terlebih dijelaskannya, menurut kepercayaan masyarakat setempat, khususnya Kampung Ubadari, konon didalam area air terjun, pada salah satu kolam air, tinggal seorang ‘dokter’ atau penyembuh yang berkat kehadirannya didalam kolam air, banyak penyakit yang dialami masyarakat, seperti keseleo, nyeri persendian, hingga stroke dapat sembuh jika secara berkala dan rutin mandi dan membilas bagian yang sakit didalam kolam air terjun.
“Percaya tidak percaya, sudah banyak yang menceritakan hal ini. Keunikan ini yang membuat banyak orang luar tertarik dan datang ke Kampung Ubadari. Apalagi objek wisata ini dapat ditempuh lewat darat dari kota Fakfak sekitar 1jam saja,” ujar Husein Iha.
PENGELOLAAN PARIWISATA BERELANJUTAN
Direktur Program Papua Barat Yayasan Konservasi Indonesia (YKI), Meity Mongdong mengatakan bahwa sebuah jalur wisata akan berfungsi baik jika semua komponen pariwisata bersatu padu dalam hubungan yang harmonis, baik atraksi wisata, regulasi dan kebijakan yang mendukung, informasi dan data pendukung serta analisa para ahli, juga khususnya sumber daya manusia (SDM) yang beraktivitas dan akan memanfaatkan objek wisata.
Direktur Program Papua Barat Yayasan Konservasi Indonesia (YKI), Meity Mongdong saat menikmati rimbunan labirin mangrove Jalur Wisata KKTP Teluk Berau, Fakfak.
Menurutnya, lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam hal konservasi, khususnya dalam topik pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata berkelanjutan, menempatkan masyarakat lokal sebagai poin penting, ujung tombak, yang bukan sekedar menjaga alam dan lingkungannya, tapi juga mampu memanfaatkan aktivitasnya itu untuk meningkatkan ekonomi keluarganya dengan pendapatan yang didapatkan dari menjaga alamya itu sendiri.
“Dan potensi para pemuda masyarakat adat Fakfak ini cukup bagus, antusiasme mereka dengan sumber pendapatan baru yang tidak perlu lagi menangkap ikan dengan alat-alat yang merusak merupakan nilai tambah yang kami rasa harus terus didukung, dimana kedepan kami telah merencanakan sejumlah capacity building untuk mereka agar pariwisata ini dapat terus mereka rasakan manfaatnya hingga generasi muda Fakfak yang akan datang,” jelas Meity Mongdong. (SM14)