MANOKWARI – Pidato Presiden Jokowi tentang larangan ekspor minyak goreng sawit (MGS) dan bahan baku MGS telah mengejutkan banyak pihak. Namun tidak demikian dengan APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) termasuk APKASINDO Papua Barat.
Sekretaris DPW APKASINDO Papua Barat, Dorteus Paiki mengatakan wajar saja Presiden Jokowi mengambil kebijakan tersebut, masak urusan MGS saja tidak berujung-tuntas sudah 4 bulan berlalu, ini menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan seharusnya.
Akibat dari polemik MGS ini, kata Paiki, sawit menjadi terkesan dipersalahkan oleh banyak pihak. Padahal dunia mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling cepat pulih ekonominya sebagai dampak pandemi Covid-19, karena disebabkan industri sawit yang terus mengalami trend positif dan dampak multi efek player lainnnya.
“Memang ada beberapa eksportir yang mencoba-coba melanggar aturan yang sudah diterbitkan pemerintah, namun tidak langsung menyamaratakan semuanya,” katanya, Senin (25/04/2022).
Harus diakui, bahwa stop eksport MGS dan bahan bakunya sangat beresiko secara keseluruhan, karena 16 juta petani sawit dan pekerja sawit menggantungkan hidupnya diperkebunan sawit rakyat “42% perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh pekebun.
Selanjutnya, resiko anjloknya penerimaan negara melalui BK (bea keluar) dan berpotensi tekor nya BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) melalui perannya sebagai operator pelaksana Pungutan Eksport (PE). Dan yang paling beresiko lagi adalah petani sawit akan mentelantarkan kebunnya karena anjloknya harga TBS ditengah naiknya HPP yang mencapai 100%.
“Kebun sawit kami adalah harapan ekonomi rumah tangga yang sifatnya harian, jika terganggu tentu kami petani sawit akan menjadi beban negara karena kami akan mendaftar ke program keluarga harapan (PKH), tentu hal ini cukup berat bagi kami petani sawit,” ucapnya.
Sesungguhnya, dampak dari stop eksport ini adalah petani sawit yang pertama merasakannya. Faktanya, setelah pidato Presiden Jokowi hari Jumat (22/4), satu jam kemudian harga TBS (tandan buah sawit) langsung terkoreksi Rp100-200/kg dan ini terjadi hampir merata di 22 Provinsi sawit APKASINDO.
Ini memang sangat berat karena disaat yang bersamaan harga pupuk, pestisida dan herbisida sangat bergairah naik terus, yang saat ini kenaikannya sudah mencapai 200%. Seperti contoh, pupuk NPK sudah diangka Rp980rb/zak, sebelumnya hanya dikisaran Rp.340rb/zak (50kg).
Apalagi Menteri Keuangan melalui Peratuan PMK Nomor 23/PMK.05/2022 baru-baru ini sudah menaikkan Tarif PE CPO dari 155 US$/ton, naik menjadi 375 US$/ton dan Bea Keluar (BK) menjadi 200 US$/ton, totalnya menjadi 575 US$ (Rp8.350.000).
Terkhusus akibat kenaikan PE ini, harga TBS kami terbebani hampir Rp1.000/kg. Masyarakat Indonesia harus mengetahui ini bahwa yang mensubsidi MGS Curah dan Biodisel (B30) tersebut adalah diambil dari dana PE (bukan APBN), yang nota bene adalah uang sumbangan petani sawit yang dikelola oleh BPDPKS.
“Semua kenaikan ini sangat memberatkan kami petani sawit, tapi kami berusaha untuk kuat dan bertahan, hingga sebelum Pak Presiden mengumumkan kebijakan stop eksport tersebut,” tuturnya.
Jika memang tujuan Presiden untuk membanjiri MGS dalam negeri, maka Petani sawit berharap dengan segala hormat kepada Bapak Presiden supaya kebijakan tersebut jangan terlampau berlama-lama. Harapan ini juga tersampaikan dalam diskusi dengan Saudara-Saudari kami sesama petani sawit di 22 Provinsi APKASINDO melalui Whatshapp Group.
“Kami berharap Kepada Bapak Presiden supaya kebijakan stop ekport tersebut segera dievaluasi setelah tujuannya tercapai,” pesannya.
“Mari kita semua stake holder sawit menjadikan kisruh MGS ini menjadi pelajaran berharga, bahwa nasionalis kita harus menjadi nomor satu dan utama.Kami yakin dan percaya dengan kebijakan Presiden Jokowi untuk kebaikan kedepannya dalam tata kelola industri sawit yang merupakan tumpuan ekonomi negeri ini,” tandasnya. (SM)