Disiplin dan Sepatu “Wariori”, Kenangan Pj Sekda Papua Barat Bersekolah di Sekolah Katolik

MANOKWARI – Penjabat Sekda Papua Barat, Jacob Fonataba, menceritakan pengalamannya saat menuntut ilmu di bangku sekolah. Pengalaman itu diceritakan saat perayaan HUT Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) se-Tanah Papua yang ke-49 dan HUT YPPK Keuskupan Manokwari Sorong (KMS) yang ke-20, Sabtu (2/9/2023).

Menurut Fonataba, dirinya mulai dari TK hingga sekolah menengah bersekolah di sekolah Katolik.

Bacaan Lainnya

“Saya lahir di Sorong, kemudian saya sekolah TK Santa Theresia, SD YPPK Kristus Raja Sorong, kemudian SMP Don Bosco Sorong. Jadi saya dibesarkan, dibentuk di sekolah Katolik. Jadi sekolah ini bukan kacang-kacang,” ungkapnya.

Fonataba mengatakan, sekolah Katolik tidak sembarang dibentuk dan anak-anak yang bersekolah di sekolah Katolik ketika keluar tidak “kosong”. Bahkan, saat dirinya bersekolah di sekolah Katolik yang mengajarinya kebanyakan pator dan suster yang datang dari NTT dan Jawa.

“Sampai saat ini saya punya grup (WA) SD, SMP misi namanya dan tadi itu saya sudah kirim. Saya bilang saya lagi mengikuti peringatan HUT YPPK,” sebutnya.

Yang paling utama dari sekolah-sekolah Katolik, lanjut Fonataba, adalah pembentukan disiplin peserta didik dan iman. Dirinya beragama Kristen Protestan, tapi saat masuk sekolah berdoa Salam Maria dan saat pulang sekolah berdoa Bapa Kami.

“Ssaya tidak tahu kalau sekarang ya, kalau dulu kita masuk awali dengan doa Salam Maria kemudian kita akhiri dengan doa Bapa Bami. Orang-orang kadang-kadang berpikir kenapa saya bisa sampai dapat gelar doktor, dasarnya benar sekali karena kita dididik dengan dasar fundamental iman yang bagus,” ujarnya.

Baca Juga:  Pernyataan Tegas Kadis P dan K Manokwari Pada Pertemuan Bersama Kepsek dan Guru SD Negeri 35 Sanggeng

Fonataba juga bercerita saat di bangku SMP pernah dipukul guru karena tidak berhasil menghafal Pembukaan UUD 1945. Setelah itu setiap hari dia menghafal Pembukaan UUD 1945 dan sampai sekarang pun dihafalnya dengan baik dan lancar.

“Jadi sekali lagi saya kembali bahwa sekolah ini penting. Kemudian satu lagi ciri khas yang di sini, disiplinnya itu tegas. Kita dulu sepatu ‘Wariori’, kaus kaki harus sampai tutup betis, baju harus disisip, rambut rapi, ikat pinggang jelas, kemeja kancing harus sampai di atas. Kalau kita terlambat saja 5 menit tunggu di luar, tidak boleh masuk nanti kita berdiri berjemur dulu baru masuk. Di situ membentuk karakter anaknya luar biasa untuk disiplin,” tuturnya.

Tak hanya, menurut Fonataba, di sekolah Katolik semua siswa diperlakukan sama. Dan, lanjutnya, di sekolah Katolik anak-anak ditanamkan nilai kejujuran.

“Tidak dibilang ada versi Papua, versi non Papua atau Tionghoa, tidak ada. Kita semua dibentuk dengan sama di sekolah itu. Kemudian yang terbentuk di situ kita diajari untuk jujur. Itu yang mungkin terbawa sampai sekarang saat saya kerja. Jadi saya ingin sampaikan bahwa bukan hanya sekolah YPPK, semua sekolah harusnya dibentuk dengan dasar iman, itu yang paling penting. Jadi aturan itu bapak-ibu jangan segan-segan untuk menerapkannya di sekolah. Tetap tegakkan itu karena kasih bapak-ibu pasti membuahkan hasil yang bagus,” ujarnya.

Fonataba mengatakan, meski terkenal dengan disiplin, namun hubungan emosional guru dan siswa di sekolah Katolik terus terjaga. Hal itu terbukti ketika dirinya berdinas di Yogyakarta.

“Kebetulan kita punya guru-guru SD dan SMP misi itu mereka pensiun pulang ke Jawa. Saat itu saya ingin jalan-jalan karena break jam 12 hari Jumat, jadi saya naik bus putar-putar untuk foto-foto. Begitu saya naik bus, dari depan ada teriak saya, marga saya dipanggil, ‘Fonataba duduk’. Saya bilang di Jogja ini ada yang kenal saya ini. Bapak-ibu tahu yang tegur saya siapa, saya punya guru SD misi Sorong. Saya ditegur itu berarti tandanya bahwa saya paling dikenal di sekolah. Dikenal bukan karena pintarnya, karena tidak disiplin tapi gurunya begitu sayang sama saya karena dia langsung bilang begini ‘sekarang juga ikut sampai di Prambanan turun ketemu ibu dulu yang ko dulu suka makan dia pu nasi kuning itu’. Jadi hubungan emosional antara murid dan guru itu, betapa gurunya merasakan kasih sayang untuk kita-kita yang sebetulnya biasa-biasa tapi akhirnya kita bisa berhasil,” imbuhnya.

Baca Juga:  Anggota DPR Papua Barat, Adriana Nalle Dukung Penundaan Belajar Tatap Muka

Fonataba menambahkan, di keluarganya ada sembilan bersaudara. Dari sembilan bersaudara itu, hanya satu saja yang tidak bersekolah di sekolah Katolik.

“Sembilan itu hanya satu saja yang tidak sekolah di sekolah Katolik. Semuanya sekolah di sekolah Katolik. Jadi bukan berarti saya mengucilkan sekolah yang lain, cuma saya ingin menginformasikan bahwa kami mengecap pendidikan di sekolah YPPK itu memberikan dampak yang sangat luar biasa terhadap kehidupan kami,” tandas Fonataba. (SM7) 

Pos terkait