MANOKWARI, – Isu strategis nasional yang juga menjadi isu daerah saat ini yaitu tingginya angka kemiskinan ekstrem dan prevalensi angka stunting di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Manokwari. Ini menjadi tantangan sekaligus menggugah semua stakehokders agar ikut berperan dalam upaya pemerintah untuk menurunkan angka stunting.
Asisten I Sekda Manokwari, Wanto, mengatakan, stunting merupakan masalah gizi KRONIS, sehingga dapat dicegah jika ditangani dengan tepat dan cepat. Stunting disebabkan oleh banyak faktor, terutama qsupan nutrisi yang kurang selama 1000 Hari pertama kehidupan (HPK).
“Kurangnya asupan nutrisi berkaitan dengan pengetahuan keluarga tentang pola asuh dan kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Kondisi ini harus kita tangani secara bersamaan,” katanya.
Untuk menangani kemiskinan ekstrem, Presiden telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Sementara untuk stunting, ada Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Perpres tersebut, katanya, merupakan payung hukum dari strategi nasional percepatan penurunan stunting yang sudah dilaksanakan sejak 2018.
Penurunan stunting, lanjutnya, tidak dapat dekerjakan oleh satu instasi saja tetapi harus melibatkan multi-pihak termasuk sektor swasta, kader PKK, petugas Posyandu, kader Keluarga Berencana (KB).
“Berdasarkan hasil SSGI Tahun 2022, kita mengalami kenaikan 9,7 persen dari kondisi tahun 2021 sebesar 26,2 persen menjadi 30,6 persen. Meskipun data Tltersebut hasil survei, namun merupakan potret dari upaya konvergensi yang telah dan sedang kita lakukan,” katanya.
Karena itu, beberapa langkah konkret yang dilakukan untuk mempercapat penurunan stunting di Kabupaten Manokwari yakni pertama melakukan verifikasi dan updating data untuk memperoleh data riil guna melakukan intervensi spesifik dan sensitif.
Kedua, optimalisasi pemanfaatan anggaran yang telah titetapkan untuk percepatan penurunan stunting serta mengarahkan kegiatan-kegiatan yang berisikan dengan sasaran keluarga berisiko stunting untuk edukasi dan promosi pencegahan stunting.
Ketiga, pemberian makanan tambahan asupan nutrisi pemulihan bagi bayi 0-23 bulan yang berisiko stunting harus tepat sasaran, tepat komposisi menu, tepat jumlah dan tepat waktu, dengan sistem pengelolaan yang terkoordinir dan terkontrol.
Keempat, bayi berisiko stunting yang mengalami hambatan pertumbuhan setelah diintervensi harus dirujuk ke tenaga ahli agar mendapatkan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Kelima, mmencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga keluarga berisiko stunting harus diedukasi dan diintervensi agar tidak hamil dalam kondisi berisiko, serta bagi yang sedang hamil dan menyusui harus dicegah agar tidak kekurangan gizi.
Keenam, bayi usia 24-59 bulan yang sudah terpapar stunting tetap harus diintervensi meskipun sulit untuk sembuh. Hal ini penting agar mereka tidak mengalami penderitaan yang lebih berat.
Ketujuh, penanganan stunting harus dimulai dari hulu. Oleh karena itu, remaja putri harus diedukasi tentang pentingnya memelihara kesehatan reproduksi, gizi bagi remaja putri terutama yang akan menikah tiga bulan ke depan harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan mereka dalam keadaan sehat, tidak mengalami anemia dan mengalami penyakit.
“Penanganan stunting membutuhkan dukungan banyak pihak. Saya minta instansi yang ditugaskan oleh Presiden untuk menangani stunting dan keluarga berisiko stunting harus benar-benar bersinergi melalui koordinasi yang baik dan melakukan aksi yang berdampak pada penurunan stunting,” tandas Wanto. (SM)