Makin Besar Saja! Gelombang Kecurigaan di Balik Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu 2024

Putusan PN Jakpus
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan keterangan pers di Lapangan Banteng, Jakarta, Sabtu (4/3/2023).

JAKARTA, – Putusan perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengulang tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari, memantik kecurigaan publik. Kian hari makin membesar saja gelombang kecurigaan itu.

Pasalnya, wacana penundaan pemilu bukanlah barang baru. Wacana bahkah pernah menuai polemik beberapa waktu lalu. Bahkan, hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei juga membuktikan bahwa mayoritas publik melawan narasi yang berkembang dalam berbagai bentuk itu.

Bacaan Lainnya

Putusan PN Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) ini pun turut menjadi polemik berikutnya. Beragam tokoh penting hingga LSM-LSM menaruh kecurigaan.

SBY: jangan ada yang bermain api

Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menilai putusan PN Jakpus keluar dari akal sehat.

“What is really going on?” ungkap SBY lewat akun Twitter-nya, Jumat (3/3/2023).

Ia menyinggung agar tidak ada pihak yang coba bermain-main dan membahayakan negara.

“Ingat rakyat kita. Jangan ada yang bermain api, terbakar nanti. Jangan ada yang menabur angin, kena badai nanti,” tambahnya.

CSIS: keinginan kelompok tertentu

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nooru Okhtariza curiga bahwa putusan ini merupakan pesanan keinginan kelompok tertentu.

“Saya sulit tidak melihat keputusan PN jakpus sebagai bagian dari, dengan segala hormat, kelompok-kelompok yang menginginkan Pemilu ditunda,” ujarnya, Jumat.

Ia menilai, kelompok yang menginginkan perbedaan pemilu ini sudah terorganisasi secara rapi, atau setidaknya mereka memiliki tujuan yang sama.

“Banyak hal sudah dilakukan, tetapi ini hari ini masuk lewat pintu pengadilan,” ujar Noory.

PDI-P: ada kekuatan besar

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto tugas menyatakan bahwa pihaknya menolak penundaan pemilu yang diperintahkan oleh PN Jakpus.

Mirip dengan CSIS, Hasto menilai bahwa putusan ini tidak lahir dari ruang hampa.

“Kita melihat pada suatu kekuatan besar di balik peristiwa pengadilan di PN Jakpus tersebut yang mencoba untuk menunda pemilu,” kata Hasto, Sabtu (4/3/2023).

Pasalnya, bukan ranah PN Jakpus untuk memutus perkara ini. Namun, Hasto tidak menjawab lugas siapa sosok kekuatan besar itu.

“Operasi kekuasaan”

Direktur Eksekutif Institute for Democratic and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam curiga putusan PN Jakpus merupakan lanjutan dari operasi kekuasaan.

Ia menduga, elite-elite sejak dulu menginginkan penundaan pemilu lewat ide perpanjangan masa jabatan Jokowi, kepala desa, hingga perubahan sistem pemilu, telah mengintervensi putusan pengadilan terkait hal ini.

“Dangkalnya argumen dalam amar putusan PN Jakpus tentang penundaan pemilu menegaskan bahwa operasi kekuasaan untuk menunda Pemilu terbukti masih terus berjalan,” sebut Umam, Jumat.

Menurutnya, modus operandi ini tampak jelas. Lantaran upaya-upaya itu gagal, paling mudah dan efektif yakni dengan memanfaatkan jalur penegakan hukum.

PRIMA dianggap sebagai pion untuk mempersiapkan dan melancarkan agenda besar menunda pemilu.

“Semua orkestrasi sedemikian rupa untuk menghadirkan ketidakpastian persiapan menuju Pemilu 2024,” kata Umam.

PN Jakpus dan PRIMA sengaja tunda pemilu

Gugatan untuk menunda pemilu ada pada petitum nomor 5 gugatan PRIMA.

Dalam salinan putusan perkara 757/Pdt.G/2022 itu, majelis hakim PN Jakpus mengaku paham maksud PRIMA dalam petitum tersebut bertujuan menunda pemilu.

“Tentang petitum nomor 5 gugatan, penggugat yang memohonkan agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 … dengan kata lain adalah bertujuan untuk penundaan pelaksanaan tahapan pemilu sementara waktu.”

Majelis hakim PN Jakpus juga dengan tegas menyebut bahwa petitum itu “akan dikabulkan dengan perbaikan”.

Pertimbangan majelis hakim sama persis dengan pertimbangan dalam gugatan PRIMA, yaitu penundaan pemilu perlu dilakukan untuk “terciptanya keadaan yang adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan” dari KPU.

PRIMA mengutip pasal 2 kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Mereka menilai, larangan untuk KPU menyelenggarakan tahapan pemilu “adalah tuntutan yang rasional”.

Baca Juga: Legislator di Senayan Tuding Hakim PN Jakpus Pemutus Pemilu Ditunda Lakukan Pelanggaran!

Petitum menunda pemilu ini dikabulkan oleh majelis hakim karena “memperhitungkan keadaan yang terjadi masih berada pada awal mula tahapan Pemilu”.

Oleh karena itu lah, majelis hakim PN Jakpus, masih dalam salinan putusan yang sama, memerintahkan KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari sejak putusan diucapkan.

“Dan kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari,” tulis majelis hakim dalam pertimbangannya.

Angka 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari ini merupakan angka yang diajukan PRIMA lewat petitum nomor 5 gugatannya.

Perhitungan ini diperoleh dari lamanya tahapan Pemilu 2024 dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, dihitung sejak tahapan paling awal (penyusunan aturan dan anggaran) hingga tahapan terakhir (pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih).(*)

Pos terkait