MANOKWARI, – Papua Barat dan Papua Barat Daya termasuk provinsi dengan prevalensi stunting yang tinggi yakni 30 persen di tahun 2022 sesuai dengan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI). Bahkan dalam tiga tahun berturut-turut angka prevalensi stunting (APS) di Papua Barat dan Papua Barat Daya mengalami kenaikan.
Pada tahun 2020 angka prevalensi stunting di bawah angka nasional yakni 24,2 persen, namun meningkat menjadi 26,6 persen di tahun 2021 dan pada tahun 2022 mengalami peningkatan lagi menjadi 30 persen.
“Namun begitu kita tetap optimis jika seluruh indikator yang tertuang di dalam Perpres maupun strategi nasional dapat terlaksana dengan baik, maka masalah-masalah yang dihadapi keluarga dengan risiko stunting dapat teratasi secara bertahap dan pasti angka prevalensi stunting akan turun,” kata Kepala BKKBN Perwakilan Papua Barat, Philmona Maria Yarollo, pada kegiatan evaluasi percepatan penurunan stunting di Papua Barat dan Papua Barat Daya, Jumat (15/12/2023).
Menurut Yarollo, berbagai upaya percepatan penurunan stunting telah dilakukan dimulai dengan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) sampai ke tingkat desa/kampung dan kelurahan di seluruh Indonesia termasuk di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya sesuai amanat Perpres 72 Tahun 2021.
“Kita ingin agar TPPS berperan optimal, sehingga dapat mengoordinir seluruh sektor terkait dalam melaksanakan delapan aksi konvergensi, 29 indikator essensial, dan 35 indikator supply serta indikator strategis yang tertuang di dalam Perpres 72 Tahun 2021,” katanya.
Menurutnya, Pemprov Papua Barat dan Papua Barat Daya juga memiliki komitmen tinggi dalam menindaklanjuti Perpres 72 Tahun 2021 dengan sejumlah kebijakan dan strategi. Di antaranya di Papua Barat dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2023 tentang Percepatan Penurunan Stunting sebagai dasar hukum bagi seluruh upaya untuk mencegah dan mengeliminasi kejadian stunting. Demikian juga para bupati/walikota telah menerbitkan Peraturan Bupati maupun Walikota terkait percepatan penurunan stunting.
Di samping itu, ada kebijakan alokasi APBD untuk percepatan penurunan stunting di setiap kabupaten/kota. Meskipun belum sesuai dengan amanah Perpres, namun dengan dukungan APBD provinsi dan donasi orang tua asuh niscaya kegiatan di tahun 2023 bisa dilakukan.
“Untuk perhatian dan komitmen dari penjabat kita dalam hal ini penjabat gubernur baik Papua Barat maupun Papua Barat Daya dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan di tahun 2023, sehingga kita optimis bahwa angka prevalensi stunting di tahun 2023 melalui survei kesehatan Indonesia akan mengalami penurunan,” ujarnya.
Khusus pemerintah Provinsi Papua Barat, lanjut Yarollo, beberapa strategi yang telah dilakukan yakni selain TPPS, juga membentuk tim satuan tugas atau Satgas percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dan penurunan stunting. Sebab faktor penyebab stunting beririsan dengan faktor penyebab kemiskinan ekstrem.
Kedua, menggerakkan partisipasi orang tua asuh dan telah terdapat 214 anak stunting yang diangkat menjadi anak asuh, partisipasi pihak BUMN khususnya pihak Bank Indonesia yang telah mengangkat 27 orang anak di Kabupaten Manokwari yang akan dibiayai selama tiga bulan dan dukungan-dukungan lain dari semua lintas sektor, lintas organisasi yang telah berjalan di tahun 2023.
Gerakan orang tua asuh begitu nyata dengan partisipasi seluruh stakeholders baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hingga saat ini tercatat kurang lebih ada 715 anak yang diasuh untuk kebaikan generasi Papua yang berkualitas ke depan.
“Hari ini kita mengikuti penyampaian evaluasi karena tahun 2024 merupakan tahun terakhir dalam penanganan stunting sesuai dengan target yang diberikan oleh Bapak Presiden angka prevalensi stunting harus mencapai 14 persen,” tukasnya. (SM7)