MANOKWARI, PAPUA BARAT – Sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan pemuda ( OKP) yang dimiliki GKI di Tanah Papua, Dewan Pimpinan Wilayah FGM GKI Provinsi Papua Barat mendorong berbagai program kerja dalam rangka membangun kemitraan dalam membedah persolan pembangunan daerah bersama pemerintah khususnya di Provinsi Papua Barat.
“Sebagaimana diketahui bahwa tren kenaikan pendudukan di Papua Barat cukup tinggi, jika membaca data BPS 3 tahun terakhir, 2021-2023, tren kenaikan penduduk saat di tahun 2021 sebanyak 551,791 jiwa, tahun 2022 561.403 jiwa, di tahun 2023 sebanyak 569.570 jiwa atau naik 1.45 %. Artinya bahwa migrasi masuk menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya jumlah penduduk di Papua Barat. Data diatas merupakan data akumulasi dari tiap kabupaten kota di Papua Barat,” ujar Ketua DPW FGM GKI Provinsi Papua Barat Prof Dr. Sepus M Fatem, M.Sc yang juga akademisi Universitas Papua saat Audiensi dengan Dinas Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil Papua Barat, Jumat (17/1/2025).
Kata Sepus, berbagai upaya perlu dilakukan, termasuk ruang diskusi , berpikir bersama pimpinan daerah, Pimpinan OPD dan lembaga non pemerintah termasuk gereja di Papua Barat guna mencari model dan kebijakan guna pengelolaan dan pengendalian penduduk.
“Dalam pertemuan tersebut, FGM GKI Papua Barat bertemu langsung dr Ria M Kome, M.Ling selaku Kadis, yang didampingi kepala bidang, seksi dan staf. Pertemuan berlangsung sekitar 3 jam,” Jelas Sekretaris Umum FGM GKI Papua Barat, Dr. Onasius P Matani, M,Sc yang juga sebagai Kepala Biro Administrasi Pembangunan Setda Papua Barat.
Dalam pertemuan, FGM GKI Papua Barat mengajak semua pihak, yang dimulai dengan diskusi tentang migrasi bersama OPD Teknis terkait guna membangun kerangka awal untuk membedah persoalan migrasi di Papua Barat. Dialog yang sama akan dilakukan bersama MRP Papua Barat, DPR Papua Barat khususnya Fraksi Otsus, Dinas Transmigrasi, Dinas Lingkungan dan Pemerintah Papua Barat.
“Dampak migrasi sangat besar dan akan memicu perlambatan pembangunan, masalah sosial, ekonomi, masalah daya dukung lahan dan lingkungan, hak politik maupun kriminalitas serta lainnya. Persoalan Migrasi menjadi kompleks dan tidak bisa di kelola secara parsial. Depopulasi orang asli Papua di Tanah Papua saat ini, dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya dampak dari migrasi orang ke Tanah Papua,” Papar Sepus.
Menurut hasil kajian kerjasama FGM GKI Papua Barat dan Pusat Penelitian Anak dan Perempuan Universitas Papua mencatat arus migrasi masuk di tahun 2019-2020 sekitar 1000 jiwa per tahun. Jalur masuknya menggunakan kapal laut dan pesawat udara. Karakteristik sosial ekonomi para migran mencakup 18 aspek yang diteliti. Beberapa diantaranya yang ditemui yakni (1) Rata-rata mereka merupakan orang-orang yang datang dengan tujuan untuk penjaga toko sekitar 28, 33 %, tukang Ojek 21, 67 %, pedagang sayur 13,33 %, Pedagang Bakso 3, 3 %, penjaga rumah kos 1, 67 dan kios 1, 67. Sedangkan pada aspek (2) masuknya migrasi untuk alasan Ekonomi yakni 60 %, alasan sosial 15 %, alasan keamanan 6, 67 dan bencana 0 %. Untuk migrasi aspek faktor tahun masuk (3) yakni dibawah 5 tahun sekitar 50 %, lebih dari 5 tahun yakni 33, 3 % dan 5 tahun 3, 33 %. Selanjutnya (4) faktor migrasi yang tertib administrasi sekitar 11, 67 % dan tidak tertib administrasi yakni 88, 33%.
“Data singkat 4 aspek dari 18 aspek yang dikaji oleh Pusat Penelitian Anak dan Perempuan Unipa dan FGM GKI Papua Barat 2019-2020, sudah terlihat dengan jelas dampak migrasi terjadi pada berbagai aspek dan telah menjadi masalah sosial jika pemerintah daerah tidak mengelola dengan tetap mengacu pada regulasi tingkat nasional maupun keberpihakan kepada orang asli Papua sebagai mana amanat undang -undang otonomi khusus Papua pasal 61,” Papar Profesor orang Asli Papua itu.
“Sesuai aturan dan undang-undang, kita tidak bisa melarang orang untuk datang ke papua, itu benar, tetapi disisi lain pemerintah memiliki tanggung jawab mengelola kependudukan, mengelola orang yang melakukan migrasi, apa lagi yang datang merupakan kelompok yang tidak memiliki modal, skill dan pendidikan yang memadai, ini kan menjadi fenomena cost centre, bukan benefit centre,” sambung Sepus ke awak media .
Di sela-sela kegiatan audiensi, pengurus DPW FGM GKI Papua Barat menyerahkan laporan hasil kajian FGM GKI Papua Barat bersama Universitas Papua tentang Migrasi di Kabupaten Manokwari.
Dari pertemuan tersebut, direncanakan adanya seminar dan lokakarya para pihak untuk membedah persoalan migrasi di Papua Barat dan kemungkinan pengelolaannya.
“FGM GKI Papua Barat akan bangun komunikasi dengan semua pihak agar kerangka workshop bisa menghasilkan pemikiran strategis dalam rangka pengendalian penduduk migran ke Papua Barat,” tuturnya.
Sepus mengatakan sesuai data SIAK+ yg disampaikan Dinas Dukcapil Papua Barat, hingga tahun 2024 pendataan OAP di Papua Barat baru mencapai 38.270 jiwa dari total penduduk di Papua Barat. Data ini masih belum lengkap untuk OAP di Papua Barat yang mana keterlambatan ini karena proses verifikasi di tiap kabupaten di Papua Barat.
Walaupun di sisi lain, sebagaimana diketahui, di tahun 2022, pemerintah Papua Barat telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 19 tahun 2022 tentang Pembangunan, Penataan, Pengendalian dan Penempatan Transmigrasi di Papua Barat. Namun jauh diatas perda tersebut, secara tegas undang-undang Otonomi Khusus Papua pasal 61 ayat 1 dengan jelas mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pengendalian penduduk. Salah satu bentuk pengendalian yakni melalui regulasi dan tata kelola yang berpihak kepada orang asli Papua dan sistem lokal di Papua.
Menurut Ketua FGM GKI Papua Barat itu, angka kemiskinan lokal di Tanah Papua, termasuk Papua Barat tidakdapat ditekan jika disaat yang bersamaan migrasi orang ke Papua Barat juga tinggi.
“Artinya bahwa jika kemiskinan lokal yang selalu di sampaikan oleh data-data statistik dan berbagai kajian dilakukan itu akan ditekan melalui program pemerintah daerah, maka kelompok migran juga harus dikendalikan maupun dibatasi. Mengapa? karena jika tidak dilakukan, maka disaat yang bersamaan angka akumulasi kemiskinan di daerah merupakan penggabungan antara kelompok migran dan kelompok lokal sehingga memunculkan angka akhir yang diduga memposisikan kita pada daerah yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia terendah di Indonesia,” tandas Sepus.
Turut hadir dalam audiensi Willy Hegemur, yang merupakan anggota MRP Papua Barat dan Ketua DPC FGM GKI Fakfak serta beberapa anggota Pengurus FGM GKI Papua Barat. (SM)