Sorong Selatan, PBD – Kabupaten Sorong Selatan memiliki ekosistem kritis dengan luas 497.522 hektar dari total 654.900 hektar yang diklasifikasikan sebagai area dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi. Hal ini telah dikaji oleh Konservasi Indonesia (KI) belum lama ini, dimana area ini mencakup 32 jenis ekosistem alami, termasuk hutan gambut tropis yang berperan sebagai penyerap karbon dan penyedia jasa ekosistem esensial bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang bergantung pada alam untuk aktivitas berburu dan agroforestri.
Analisa yang sama dengan menggunakan metode pemodelan distribusi spesies juga mengidentifikasi bahwa Sorong Selatan merupakan rumah bagi 416 jenis tumbuhan dan 372 jenis vertebrata, dengan 58 jenis mamalia, 280 jenis burung, 36 jenis reptil, dan 14 jenis amfibia.
Sebagai bagian dari upaya untuk melestarikan ekosistem alami dan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat Daya melalui Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) bekerja sama dengan Konservasi Indonesia dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong Selatan bersama-sama mitra pembangunan menggelar lokakarya sejak Rabu (23/10/2024) hingga hari ini, Kamis (24/10/2024) dan bersama-sama menyusun peta jalan dalam sebuah Program Kolaborasi KASUARI (Kuatkan Adat, Sumber Daya Alam Lestari).
Direktur Program Papua dari Konservasi Indonesia, Roberth Mandosir mengatakan Program Kolaborasi KASUARI dibuat untuk memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan oleh masyarakat adat, mengembangkan mata pencaharian mereka, serta mengembangkan mekanisme pembiayaan berkelanjutan melalui ecological fiscal transfer maupun optimalisasi dana desa.
“KASUARI diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap hutan yang merupakan wilayah kelola dan ruang hidup masyarakat,” jelas Roberth Mandosir
Kepala Dinas LHKP Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, dalam pembukaan diskusi mengatakan bahwa isu perubahan iklim telah mengubah tatanan kehidupan. Ia pun berharap kepada pemerintahan baru untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat yang telah menjaga hutan dengan lebih baik.
“Melalui inisiatif perlindungan dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dari peta jalan Program Kolaborasi KASUARI ini, kami berharap masyarakat Sorong Selatan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kami percaya bahwa hutan yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Kelly Kambu.
Program Kolaborasi KASUARI ini berfokus pada kawasan hutan seluas 150.000 hektar dari total 318.770 hektar kawasan hutan yang pengelolaannya berada pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XIV Sorong Selatan dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit VII. Program Kolaborasi KASUARI secara langsung mendukung inisiatif yang diupayakan oleh masyarakat dari empat sub-suku di lima kampung dan tiga dusun persiapan di Distrik Konda. Sejak 2022 lalu, Konservasi Indonesia bersama pemerintah dan mitra pembangunan lainnya bekerja sama untuk melindungi 36.797 hektar hutan melalui mekanisme Perhutanan Sosial.
Salah satu perwakilan masyarakat yang menghadiri kegiatan, Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan menyampaikan harapannya dari Program Kolaborasi KASUARI ini. Ia berharap program yang sedang diinisiasi ini dapat mengembalikan pengelolaan SDA didalam kawasan kampung dapat kembali kepada masyarakat kampung, karena alam merupakan sumber penghidupan utama masyarakat.
“Saya harap program ini dapat mendukung pengelolaan kembali kepada masyarakat di kampung-kampung di Sorong Selatan yang hidupnya bergantung kepada hutan dan, tidak berhenti di sini, tetapi dilanjutkan dengan melatih masyarakat mengenai bagaimana melindungi dan memanfaatkan hutan dengan baik untuk anak cucu nanti,” kata Adrianus.
Program Kolaborasi KASUARI menitikberatkan pada empat strategi utama untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan. Strategi pertama adalah memperkuat perlindungan dan pengelolaan hutan, yang bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan kelestarian ekosistem. Strategi ini sejalan dengan strategi kedua, yaitu meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan, baik di tingkat lokal maupun regional, untuk memastikan keterlibatan yang kuat dalam upaya konservasi.
Kedua strategi ini didukung oleh pengembangan penghidupan masyarakat yang pro-hutan sebagai strategi ketiga, yang dirancang untuk memberdayakan masyarakat melalui pendekatan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Terakhir, strategi keempat berfokus pada pengembangan mekanisme pembiayaan berkelanjutan, yang bertujuan untuk memastikan pendanaan jangka panjang bagi program konservasi dan kesejahteraan masyarakat setempat. (SM14)